Tesis, Everestku.

Najma
2 min readFeb 3, 2025

--

“It’s not the mountain we conquer but ourselves.”–Sir Edmund Hillary.

Dahulu, aku jatuh cinta pandangan pertama dengan tesis. Dari jauh memang tampak seperti Gunung Everest yang keren rasanya kalau bisa ditaklukan. Realitanya, sama seperti gunung Everest yang mematikan dan tak bisa “ditaklukkan”, tesis juga penuh dengan pos-pos lembah yang semakin tinggi altitude-nya, semakin sedikit juga supply oksigennya. Tidak tahu menahu, belum sampai puncak sudah kehabisan napas.

Perjalananan mencapai summit Gunung Everest memang selalu menginspirasi banyak orang. Namun, hal yang justru jarang perhatikan adalah perjalanan yang mulai sebelum mendaki. Aku saja baru tahu kalau selain persiapan fisik dan mental yang bertahun-tahun, mendaki Everest butuh banyak biaya. Terkadang menjalani S2 juga terasa seperti itu. Mungkin banyak orang yang bingung kenapa ada yang mau menyiksa diri mereka sendiri dengan tugas-tugas sulit tanpa dibayar, malah membayar. Well, they should say that to the people who climb the Everest too.

Enggak sedikit jasad orang yang wafat karena percobaan mendaki Gunung Everest tergeletak di jalan yang sama dengan rute pendaki baru. Jasad-jasad itu seakan mengingatkan setiap langkah para pendaki yang bermimpi mencapai puncak akan alam yang garang. Tak heran, setiap kali aku menemui “jasad” itu di perjalanan tesisku, rasanya sulit untuk melangkah maju ke pos selanjutnya. Patah semangat, sampai lupa kalau puncaknya masih ada, meski enggak kelihatan.

Dengan tingginya tingkat kematian di Everest, mengapa orang masih mau mendaki gunung itu? George Mallory, pendaki Everest pernah menjawab, “Because it’s there. What we get from this adventure is just sheer joy. And joy is, after all, the end of life.” Sama seperti Everest, tesis ini ada di hadapanku, rasanya ada garis akhirnya. Mau dihindari sekereras apapun juga tetap harus aku rangkak perlahan menuju puncak. Kalau perlu digeret, gak peduli di tengah jalan kena frostbite dan muntah-mutah.

Semuanya tentang perspektif. (Di gambar: dua respon e-mail dari tulisan riset yang sama).

Satu hal yang mungkin selalu terlupakan, orang tidak pernah mendaki Everest sendirian. Ada sherpa dan kawanan lainnya yang sama-sama menuju puncak. Ada dosbing yang menjadi pemandu, teman sesama pejuang tesis (hai), dan bahkan keluarga yang setiap hari selalu mengucap doa.

Tidak semua orang sampai ke puncak Everest, tidak semua orang turun kembali dengan utuh. Tapi aku percaya: aku masih bisa bernapas, aku masih bisa lihat jalan menuju summit, aku masih bisa mendaki lebih tinggi, sejauh yang aku mampu. Semoga aku akan sampai di atas, melihat ke bawah dan berkata, aku pernah ada di sana, aku pernah berjuang sejauh itu.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Najma
Najma

Written by Najma

A cat-obsessed gradstud who occasionaly write about marketing, politics, and arts.

No responses yet

Write a response